TopBottom

GASA

Pertama di Indonesia!

Herbal Langka Atasi Disfungsi Ereksi & Libido Tanpa Sakit Kepala Tidak Membuat Jantung Berdebar Aman Bagi Penderita Diabetes!

Terdaftar Resmi DEPKES RI No. 9613.80911. 100% Produk Herbal

Klik baca selanjutnya.....
Announcement: wanna exchange links? contact me at clwolvi@gmail.com.

Berikut Dengan Detail Menjelaskan PRODUK Obat Kuat PASUTRI Legal, Herbal, Rekomendasi Boyke dan Co :

Gasa Foredi

Menggugat Neoliberalisme

Posted by Unknown at Rabu, 23 Desember 2009
Share this post:
Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Yahoo Furl Technorati Reddit

Evo Morales dan Revolusi Bolivia: Menggugat Neoliberalisme
Dalam sejarah, pergulatan ideologi di berbagai negara berlangsung terus-menerus. Dalam kajian ideologi kita mengenal dua ideologi besar, yaitu kapitalisme dan sosialisme/komunisme, di mana masing-masing memiliki varian-varian. Seorang ilmuwan bernama Francis Fukuyama pernah mengatakan bahwa saat ini merupakan ‘akhir sejarah (the end of history)’, karena tidak ada lagi persaingan ideologi seperti halnya pada era Perang Dingin, di mana -menurutnya- pertarungan tersebut dimenangkan oleh kapitalisme.

Kapitalisme telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan yang tak tertandingi di muka bumi, dan telah memberikan kesejahteraan bagi umat manusia dengan berbagai kebijakan yang dihasilkannya. Benarkah demikian? Apakah tidak ada lagi perlawanan menentang kapitalisme, yang kini menjelma menjadi kapitalisme global dengan sebutan imperialisme atau neoliberalisme itu?

Kalau kita mencoba menengok ke Amerika Latin, maka kita akan melihat bahwa tesis Fukuyama di atas tidak sepenuhnya benar -kalau tidak bisa dikatakan salah-. Kuba, Brasil, Argentina, Uruguay, Bolivia, dan Venezuela merupakan beberapa negara yang menerapkan sistem ekonomi-politik sosialisme. Dan dalam tulisan ini penulis ingin sedikit mengulas perjalanan revolusi Bolivia yang mencoba melakukan perombakan sistem ekonomi yang dulunya kapitalis-indiviudualis menjadi sosialis-distributif. Semoga bisa menjadi bahan renungan kita bersama untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia tercinta ini.

Bolivia merupakan sebuah negara kecil di Amerika Latin. Pada tahun 1937 di awal depresi global, suatu periode ketika tatanan dunia pada umumnya menyambut baik intervensi negara yang lebih besar dalam ekonomi (madzhab Keynesian), Bolivia melakukan kontrol terhadap sektor pertambangan (extractive sector). Setelah suatu pergeseran ke kanan yang perlahan tapi pasti, sebuah revolusi pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Gerakan Nasionalis Revolusioner (MNR) berhasil menggulingkan rezim militer kanan dan menasionalisasi tambang timah terbesar di negeri itu, memulai reformasi tanah (land reform), dan memberikan hak pilih kepada perempuan dan kaum Indian yang sebelumnya tidak berhak memilih.

Konteks global pada masa itu memang menunjukkan adanya peningkatan jumlah pemerintahan kiri, ditandai dengan kebangkitan Uni Soviet menjadi negara adidaya dan revolusi komunis di Cina. Pemerintahan revolusioner Bolivia disingkirkan 12 tahun kemudian, setelah itu negeri tersebut menjadi korban serangkaian pemerintahan militer dan rezim sipil lemah yang berjatuhan seperti domino.

Pada tahun 1993, Gonzalo Sanchez de Lozada -sang perancang kebijakan neoliberal pada tahun 1980-an- terpilih sebagai presiden. Sejak itu, ia melakukan privatisasi besar-besaran terhadap berbagai sektor ekonomi di negera itu. Langkah ini membolehkan penduduk asing memiliki setengah dari perusahaan yang sebelumnya merupakan korporasi publik atau negara dalam sektor-sektor strategis seperti petroleum, penerbangan, telekomunikasi, kereta-api, perusahaan listrik, dan seterusnya. Sejak awal, kebijakan restrukturisasi ini mendapatkan perlawanan yang sengit berupa aksi-aksi protes rakyat.

Gerakan-gerakan protes rakyat ini berawal dari serangkaian peristiwa seputar peringatan di tahun 1992 tentang Penaklukan oleh Spanyol 500 tahun sebelumnya. Gerakan penduduk asli mulai dibangun pada masa ini, dan memicu semakin tingginya aktivisme politik antara penduduk mayoritas negeri itu. dan titik balik yang terlihat jelas terjadi pada tahun 1999-2000 ketika diterapkan rencana privatisasi air di Lembah Cochabamba melalui anak perusahaan Bechtel Corporation, Aguas de Tunari.

Dalam waktu beberapa bulan harga air meningkat drastis dan memicu aksi-aksi protes yang semakin agresif, termasuk suatu demonstrasi massal di mana seorang protestan terbunuh dan beberapa lainnya terluka oleh militer. 'Perang Air' ini, sebagaimana biasa disebut, berujung pada pembatalan kesepakatan privatisasi air. Ia juga memperkuat gerakan anti-neoliberal yang berlanjut meningkat dalam jumlah dan intensitas.

Pada tahun 2003, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang tidak populis berupa pembangunan pipa gas untuk tujuan ekspor gas ke Cile. Bagi rakyat banyak, kebijakan ini tidaklah menguntungkan mereka, dan ini hanyalah salah satu skema untuk mengekstraksi sumber daya alam Bolivia yang berharga demi keuntungan korporasi transnasional dan pihak asing.

Dan pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembasmian koka dengan alasan pembasmian narkotika, padahal koka merupakan tempat sebagian besar penduduk negeri itu bergantung. Sehingga, pecahlah tragedi Oktober Hitam, yang mana presiden memerintahkan militer untuk menggunakan kekerasan dalam membubarkan blokade jalanan di La Paz dan pemukiman kumuh El Alto yang didirikan sebagai protes terhadap kebijakan presiden yang tidak merakyat.

Setidaknya 100 orang ditembaki oleh militer dan banyak lainnya terluka. Gonzalo Sanchez de Lozada pun mengundurkan diri dan mencari suaka di Amerika Serikat, sementara wakil presidennya, Carlos Mesa Gisbert, mengambil kendali yang goyah terhadap pemerintahan hingga kejatuhannya dua tahun kemudian. Pada tahun 2004, dalam suatu referendum 80% suara rakyat memilih nasionalisasi terhadap sumber daya energi negeri itu. Luar biasanya, pemerintah memilih untuk mengabaikan mandat publik yang terang-terangan ini. Aksi-aksi protes pun merebak, dan memaksa Presiden Mesa mundur.

Pada Pemilu 2005, yang dipercepat dari seharusnya 2007 akibat pemaksaan mundur Presiden Mesa, terpilih seorang presiden yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan aspirasi hati nurani mayoritas rakyat Bolivia, yaitu Evo Morales, pemimpin Partai Movimiento a Socialismo (Gerakan Menuju Sosialisme) atau disingkat MAS, yang berarti "lebih".

MAS terlibat secara aktif dalam ‘Perang Gas’ (menentang pembangunan pipa gas untuk tujuan ekspor ke Cile), bersama-sama dengan banyak kelompok lainnya, yang biasanya dirujuk sebagai "gerakan sosial". Ia memperoleh 54,3 persen suara menurut hasil resmi yang diumumkan pada 21 Desember 2005. Kemenangannya itu menunjukkan bahwa dukungan rakyat lebih besar dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya sejak demokrasi dipulihkan di negara itu dua dekade lalu. Setelah terpilih, dia menyatakan akan memotong setengah gajinya untuk kepentingan pendidikan dan perluasan lapangan kerja.

Sejak itu, kebijakan demi kebijakan yang pro-rakyat digulirkan oleh Morales. Ia memilih para menteri dari kalangan aktivis dan memotong gaji mereka hingga 50% yang dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan bagi rakyat. Ia juga menasionalisasi perusahaan tambang migas di Bolivia, yang sebelumnya bak lumbung bagi korporasi-korporasi multinasional seperti Exxon Mobil, Repsol, Petrobras, Shell, dan lain-lain. Dan di bawah pemerintahannya pula penanaman koka, tanaman tradisional masyarakat suku Indian Aymar yang merupakan penduduk asli Bolivia, dilegalkan.

Koka biasa digunakan dalam upacara adat dan pengobatan tradisional. Koka mentah juga dikonsumsi untuk menambah stamina para petani saat bekerja. Padahal, sebelum Evo Morales menjadi presiden, koka adalah tanaman terlarang karena bisa disalahgunakan menjadi narkotika kokain, dan AS menekan pemerintah untuk melakukan pembasmian koka dan mengalihkannya ke tanaman industri seperti lada dan kacang mademia.

Tapi faktanya, harga yang didapat petani untuk hasil panen tanaman itu sungguh tidak kompetitif dengan harga koka dan sulit menemukan pasar untuk menjual komoditas tani ini. Sehingga dengan melegalkan koka, berarti Evo Morales telah memberi kemudahan dan meningkatkan kesempatan-kesempatan untuk para petani untuk ikut menghidupkan ekonomi Bolivia sembari melestarikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Indian. Menurutnya, masalah kokain harus diselesaikan pada sisi konsumsinya, bukan dengan membasmi perkebunan koka.

Bolivia di bawah Morales menambah sederet pemerintahan kiri-sosialis yang menentang imperialisme dan sistem neoliberal Amerika Serikat. Keyakinannya yang kuat, beserta dukungan yang didapatkannya dari rakyat yang sadar akan kebusukan neoliberalisme, telah memberikan kesempatan dan tugas yang harus diembannya dalam usaha menyejahterakan rakyat Bolivia. Dan ia telah melaksankan dan membuktikannya. Bagaimana dengan Indonesia?

Wallahu a’lam bis showab.

Read the rest of this entry -→

Berikut Dengan Detail Menjelaskan PRODUK Obat Kuat PASUTRI Legal, Herbal, Rekomendasi Boyke dan Co :

 

Gerakan Kapitalisme

Posted by Unknown at
Share this post:
Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Yahoo Furl Technorati Reddit

Gerakan Kapitalisme
Kapitalisme Global dan Format Gerakan
eSaat ini kita hidup dalam era globalisasi yang ditandai dengan semakin kaburnya ‘batas-batas’ antar negara. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh semakin menyebarnya kapitalisme multinasional atau yang oleh Lenin disebut dengan imperialisme. Dunia tempat kita hidup semakin terasa sempit, seolah-olah tidak ada lagi tempat untuk kita menyepi, merenung, dan memaknai kembali hidup kita. Kita semakin disibukkan oleh apa yang disebut dengan rutinitas duniawi, kegiatan dan aktivitas yang terus berulang dari hari ke hari, yang membuat kita seolah dikejar-kejar oleh pemenuhan materi dan melupakan bahwa sebenarnya ada kebutuhan lain dalam diri kita yang mungkin bisa dikatakan lebih fundamental, yaitu kebutuhan akan sebuah spiritualitas individual, kebutuhan akan pemenuhan ruhani.

Kalau kita mencoba mencermati realitas yang ada saat ini, maka kita akan melihat bahwa kapitalisme semakin menjerat negara dan bangsa Indonesia. Di bidang politik, kebijakan-kebijakan (policies) pemerintah lebih banyak diatur oleh sekelompok orang yang punya kepentingan ekonomi-politik untuk ‘menguasai’ serta ‘mengendalikan’ negara dan bangsa kita daripada oleh orang-orang yang memiliki keberanian politik untuk melaksanakan kebijakan-kabijakan secara mandiri dan berkedaulatan. Dalam bidang ekonomi, kita juga tidak bisa melepaskan diri dari jeratan liberalisme ekonomi dengan instrumen-instrumennya seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia, di mana ketiganya disetir oleh para penguasa kapital dunia.

Di ranah budaya, kita semakin dijajah oleh komponen-komponen budaya asing yang hedonis, materialistis, dan individualis, sehingga mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa yang ramah, sederhana, toleran, suka bergotong royong, dan berbagai cirri khas bangsa Indonesia. Hal ini pada akhirnya mengancam eksistensi budaya dan tradisi kita, dan membuat kita lupa akan kebesaran dan kekayaan budaya kita.

Dan satu hal lagi yang membuat kita miris yaitu kondisi pendidikan kita. Pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelayan rakyat, ternyata malah diserahkan kepada segelintir orang ‘pemegang saham’ untuk menentukan masa depannya. Ketika pendidikan dikuasai oleh mereka yang memiliki modal, maka aksesibilitas orang-orang yang tak bermodal akan semakin kecil dan bahkan mungkin hilang sama sekali. Hal ini terbukti dengan disahkannya RUU BHP baru-baru ini.

Apakah kita akan diam saja melihat kondisi yang demikian? Kalau memang kita masih memiliki rasa nasionalisme dan kepedulian sosial terhadap sesama, maka seharusnya kita menjawab tidak. Begitu pula sebaliknya. Namun, apabila kita merasa memiliki rasa nasionalisme dan kepedulian sosial terhadap sesama sedangkan kita memilih untuk berdiam diri dan bungkam melihat realitas yang ada, maka kita perlu menanyakan kembali pada diri kita, “Apakah kita benar-benar memiliki rasa nasionalisme dan kepedulian terhadap sesama, atau hanya kesadaran semu (pseudo-consciousness) belaka?”

Gerakan mahasiswa sebagai salah satu elemen masyarakat sipil (civil society) memiliki kewajiban moral untuk memanifestasikan rasa nasionalisme dan kepedulian sosialnya. Gerakan mahasiswa merupakan salah satu tonggak utama bagi terwujudnya demokrasi yang sesungguhnya, keadilan sosial yang sebenarnya, dan kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah terbukti dalam berbagai babakan sejarah kebangsaan kita sejak awal munculnya gerakan nasionalisme tahun 1920-an hingga runtuhnya Orde Baru.

Dan kini, gerakan mahasiswa dihadapkan pada realitas sosial dan politik yang semakin kompleks, di mana globalisasi dengan boncengannya yaitu kapitalisme multinasional telah merasuk begitu dalam ke jantung ‘pertahanan’ negara dan bangsa Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Indonesia sebagai salah satu negara dan sebuah entitas kebangsaan tidak lepas dari jeratan kapitalisme multinasional. Oleh karena itulah, tantangan gerakan mahasiswa di era reformasi ini, selain menuntaskan perubahan setelah jatuhnya rezim diktator Soeharto, adalah menghadapi gempuran serangan kapitalisme multinasional dengan strategi globalisasinya.

Kalau kita melihat ke belakang, sebenarnya gerakan-gerakan perjuangan pembebasan dan kemerdekaan sejak awal abad ke-20, terutama yang dipelopori oleh kaum muda dan mahasiswa, menghadapi musuh yang sama, yaitu kapitalisme global. Hasyim Wahid dalam bukunya yang berjudul “Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia” berpendapat bahwa perjalanan negara dan bangsa Indonesia sejak awal hingga sekarang dan bahkan di masa depan tidak pernah terlepas dari hubungan atau keterkaitannya dengan kapitalisme global.

Oleh karena itu, dalam melihat dan mengamati perjalanan bangsa ke depan, kita pun harus memperhatikan hal ini. Dalam bukunya tersebut Gus Im (panggilan akrab Hasyim Wahid) menjelaskan secara gamblang bagaimana pengaruh dan ‘intervensi’ kapitalisme global dengan berbagai kelicikan dan kecerdikannya telah mewarnai perjalanan bangsa dan negara Indonesia.

Hal inilah yang harus disadari oleh gerakan mahasiswa saat ini dan ke depan, apabila tidak ingin kehilangan pisau analisis sosial dan analisis kebijakan dalam menentukan format dan strategi gerakannya. Atau malah lebih memilih untuk ‘mengikuti arus’? Wallahu a’lam bis showab.


Read the rest of this entry -→

Berikut Dengan Detail Menjelaskan PRODUK Obat Kuat PASUTRI Legal, Herbal, Rekomendasi Boyke dan Co :

 

Solusi Keluaga Harmonis